Penegakan hukum dalam kasus PT GNI dirasa tebang pilih dan persoalan ketenagakerjaan serta lingkungan sama sekali tak tersentuh.
BETAHITA.ID - Pemerintah dianggap tak berpihak kepada buruh ihwal penyelesaian kerusuhan di PT Gunbuster Nickel Indonesia (GNI) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Penegakan hukum dirasa tebang pilih dan persoalan ketenagakerjaan serta lingkungan sama sekali tak tersentuh.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah, mengungkapkan penegakan hukum atas kerusuhan di PT GNI menjadi langkah mempererat hubungan Indonesia-Cina pascainsiden kerusuhan di PT GNI pada 14 Januari 2022 . Hal ini ia sampaikan menanggapi kecaman Kedutaan Besar Cina atas insiden tersebut.
Iklan
"Kita juga menyampaikan langkah yang dilakukan pemerintah untuk penegakan hukum dan lainnya dan itu sudah dimaklumi dan diikuti oleh pihak Tiongkok (Cina)," ucap Faizasyah seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Polisi telah menetapkan 17 tersangka setelah melakukan penahanan dan pemeriksaan.
Namun sikap pemerintah ini dianggap tak berpihak pada buruh. Ketua DPC Serikat Pekerja Nasional (SPN) Morowali dan Morowali Utara, Katsaing, menyatakan polisi seharusnya menindak tenaga kerja asing asal Cina yang melakukan perusakan. Mereka melakukan aksi kekerasan dan perusakan kendaraan roda dua ketika massa buruh menjemput pekerja untuk melakukan aksi mogok kerja.
“Maksudnya, kami ingin penegakan hukum dilakukan secara adil ke kedua belah pihak. Tenaga kerja dari buruh melanggar maka diproses sesuai proses hukum, demikian sebaliknya. TKA sudah melakukan perusakan kepada motor pekerja,” ucapnya ketika dihubungi redaksi Betahita.
Ia menyebutkan SPN tengah membicarakan soal pendampingan hukum terhadap buruh yang ditetapkan sebagai tersangka. Pada kunjungan Komisi III DPR beberapa waktu lalu, anggota dewan sudah meminta polisi untuk menerapkan restorative justice. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan polisi untuk melakukan penindakan.
Katsaing mengatakan pemerintah seharusnya memahami tuntutan buruh ketika melakukan aksi mogok. Mereka menuntut perusahaan untuk memenuhi standar keselamatan bagi buruh, kesejahteraan, dan manajerial dengan baik.
Tuntutan ini sudah dilontarkan sejak September 2022 dan pemerintah sudah mengetahui duduk perkaranya.
Meski demikian, mereka tak bertindak apapun. Padahal pemerintah bisa menekan perusahaan untuk memenuhi hal itu sesuai dengan hukum.
“Nah, sekarang intimidasi terus berlanjut. Saya dengan beberapa buruh juga di PHK secara sepihak. Kalau diam saja berarti pemerintah tidak berpihak kepada buruh,” tandasnya.
Koordinator Eksekutif Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah menyebutkan seharusnya pemerintah melihat konteks kerusuhan. Ia menyebutkan faktor keselamatan kerja dan hak buruh merupakan satu dari sekian masalah dalam operasi PT GNI.
Kepentingan perbaikan keselamatan kerja ini tak hanya untuk buruh asal Indonesia, tetapi juga tenaga kerja asing asal Cina.
Selain itu mereka mencatat terdapat berbagai masalah lingkungan dan konflik masyarakat. Beberapa diantaranya saat pertama kali beroperasi di Bunta, Petasia Timur pada 2018, pembangunan pembangkit listrik (PLTU batubara) dan pabrik smelter telah membendung sungai Lampi tanpa ada proses konsultasi dan pembebasan lahan.
Lahan-lahan produktif warga diklaim sepihak perusahaan dan melarang warga untuk mengelola lahan-lahan itu.
Operasi bendungan tersebut menggenangi rumah warga dan ruas jalan serta menutup akses ekonomi warga transmigran. Warga pernah melakukan perlawanan dengan menghentikan alat berat. Namun, perusahaan bergeming dan kini sekitar 300 hektare lahan di lokasi transmigrasi dan dua dusun tergenang air yang berdampak terhadap perekonomian ribuan warga.
Berikutnya operasi PLTU batubara dan pabrik smelter serta penggunaan jalan umum dalam operasionalnya. Menurut organisasi tersebut, hal ini memicu terganggunya kesehatan warga. Sejumlah warga yang JATAM temui pada September 2022 mengaku pascaperusahaan beroperasi banyak warga mengeluh sesak nafas dan diduga terinfeksi ISPA. Selain itu, polusi debu dari aktivitas perusahaan menyebabkan peralatan rumah tangga terutama yang berbahan logam cepat rusak.
Lalu operasi PT GNI yang memanfaatkan wilayah Teluk Tokonaka sebagai tempat sandar dan bongkar muat kapal-kapal besar dan tongkang batubara telah berdampak pada terjadinya pencemaran. Sisa bongkar muat batubara dibuang ke laut yang, selain mencemari perairan sekitar juga berdampak pada menyempitnya wilayah tangkap dan menurunnya produktivitas nelayan. Bahkan, ratusan keramba ikan milik nelayan ditabrak kapal dan tongkang perusahaan.
Dalam sebulan, kapal dengan kapasitas rata-rata 55 ribu MT itu bisa 7-8 kali lalu-lalang di perairan tersebut dan akan terus meningkat jumlahnya seiring dengan optimalisasi produksi GNI.
Kemudian, berdasarkan informasi dari sejumlah buruh, sejak pertama kali PT GNI beroperasi hingga kini, sudah terdapat 10 pekerja yang tewas. Korban pertama berinisial HR, meninggal karena tertimbun longsor pada 8 Juni 2020. HR tertimbun bersama excavator dan baru diketahui dua hari setelah kejadian.
Pada Mei dan Juni 2022, juga terjadi peristiwa bunuh diri TKA asal Tiongkok. Masing-masing berinisial MG dan WR.
Lalu, kecelakaan kerja lainnya menimpa YSR, AF, NS, dan MD. YSR terseret longsor saat mengoperasikan bulldozer tanpa penerangan dan tenggelam ke laut di kedalaman 26 meter. Sementara AF hilang saat bekerja di tungku enam smelter 1 PT GNI. Dia ditemukan tak bernyawa setelah jatuh di sebelah tuas kontrol mesin hidrolik. Sementara NS dan MD adalah dua korban yang meninggal pada ledakan tungku smelter 2 GNI pada 22 Desember 2022.
Hingga 14 Januari 2023 kemarin, bentrokan di kawasan PT GNI menimbulkan korban 3 orang tewas, masing-masing 2 orang TKI dan 1 TKA. Selain korban tewas, juga terdapat korban luka-luka.
5.
Berdasarkan keterangan sejumlah buruh kepada JATAM, pihak perusahaan juga memotong berbagai tunjangan yang menjadi hak pekerja, serta menciptakan dan memelihara kesenjangan upah dan fasilitas pekerja antara TKI dan TKA dengan jenis pekerjaan yang sama.
Contohnya, terkait dengan tenaga kerja dari Tiongkok dengan gaji dan fasilitas-fasilitas tambahan yang lebih besar dari mayoritas pekerja dalam negeri. JATAM mengatakan kesenjangan tersebut terlihat dari helm putih dan helm merah yang kebanyakan dikenakan pekerja asal Tiongkok. Sementara itu pekerja Indonesia menggunakan helm berwarna kuning. Sebagai catatan, helm putih dikenakan manager, helm merah supervisor, dan helm kuning adalah kru tambang.
Lalu PT GNI diduga telah melakukan penyerobotan lahan warga di Desa Bungintimbe, Kecamatan Petasia, Morowali Utara. Kedua warga, yakni S dan AH, menggugat PT GNI dan anak perusahaannya, PT Stardust Estate Investmen pada 2 Juli 2021 ke Pengadilan Negeri (PN) Poso atas penyerobotan lahan seluas 30.000 meter persegi dalam proses pembangunan kawasan pabrik PT GNI.
Namun gugatan kedua warga ini ditolak oleh PN Poso (NO/Niet Ontvankelijke Verklaard) dan warga harus membayar denda biaya perkara sebesar Rp 9.968.000.
Gugatan warga tersebut ditolak hanya karena salah penulisan nama perusahaan dalam gugatan mereka, yang seharusnya “Stardust Estate Investmen”, namun ditulis “Stardust Estate Investment”.
Pada 23 Agustus 2021, PT GNI kembali digugat oleh SB, warga Desa Bunta, Kecamatan Petasia, Morowali Utara karena secara tanpa izin menggunakan lahan warga untuk akses jalan angkutan tambang. Gugatan warga ini dimenangkan oleh Pengadilan Negeri Poso yang dalam putusannya menyatakan PT GNI telah melakukan perbuatan melawan hukum dan harus membayar ganti rugi kepada warga pemilik lahan sebesar Rp 55.000.000.
“Pemahaman permasalahan secara keseluruhan ini yang seharusnya dilakukan pemerintah. Jadi bukan malah jadi tidak berpihak pada buruh. Ini menunjukkan pemerintah sendiri serampangan,” keluh Taufik.
BETAHITA
Link Back URL Partner Pemerintah Dianggap Tak Berpihak Pada Buruh Soal PT GNI