Scroll Untuk Melanjutkan

Kampung Adat yang Ramah Wisatawan

Tempo.Co
2019-08-03 09:22:44
Kampung Adat Wae Rebo
Iklan

Dengan ratusan suku bangsa, Indonesia memiliki beragam kampung adat. Beberapa di antaranya menerima wisatawan dengan ramah, meskipun bersyarat.

Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Rimba yang rimbun atau pelosok-pelosok pulau terpencil, juga di bibir danau dan pegunungan, dihuni masyarakat adat. Mereka memiliki kampong-kampung adat yang memiliki gaya hidup khusus. Wisatawan dipersilakan datang asal patuh terhadap norma-norma yang berlaku.

Inilah destinasi wisata kampung adat, namun memiliki panorama dan kekayaan budaya yang indah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pulau Siberut, Sumatera Barat

Kepulauan Mentawai merupakan kabupaten di Sumatera Barat yang tidak memiliki tradisi dan budaya khas Minang. Suku Mentawai tinggal di rumah tradisional yang mereka sebut uma.

Dua hal yang menjadi impian turis datang ke sini: berselancar di ombak yang bisa mencapai enam meter di beberapa lokasi pada musim tertentu dan menyelami kehidupan sehari-hari suku Mentawai di Pulau Siberut.

Suku Mentawai, yang masih memiliki tradisi yang kental, bisa ditemukan di Desa Madobag dan Dusun Butui, Kecamatan Siberut Selatan. Dari Muara Siberut harus naik pompong (perahu kayu) selama empat jam menyusuri sungai.

Di Desa Madobag, masih ada beberapa uma. Tapi, jika ingin lebih dekat dengan kehidupan suku ini, berjalan kakilah selama satu-dua jam ke Dusun Butui, melalui jalan setapak yang sebagian sudah disemen dan sebagian lain masih berlumpur. Di kampung inilah sikerei—dukun sekaligus pemimpin upacara adat—bersama keluarganya hidup harmonis dengan alam.

Satu uma diisi lima keluarga. Di dalamnya mereka berkumpul, melakukan upacara, dan mempraktekkan pengobatan.

Beragam Ogok Manai, hiasan kepala khas untuk perempuan Mentawai,ditampilkan dalam Festival Pesona Budaya Mentawai, di Pulau Siberut, Sumatera Barat, 1-4 November 2018. Tempo/Febrianti

 Kampung Adat Bayan, Nusa Tenggara Barat

Kampung adat Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, sekitar 75 kilometer dari Mataram, memiliki kearifan sendiri dalam menjaga adat dan alam yang mereka huni. Bentuk rumah, masjid, upacara adat, dan pola hidup tidak ada yang berubah hingga kini.

Rumah adat mereka, misalnya, atapnya terbuat dari rumbia, berdinding bambu, dan lantainya dari tanah yang dipadatkan. Tanpa sekat dan jendela, hanya berpintu satu serta pasti menghadap ke barat atau timur. Setiap rumah memiliki beruga, sejenis gazebo, bertiang enam—beruga sekenem. 

Lalu ada juga masjid kuno Bayan Beleq. Arsitektur masjid tetap dipertahankan sejak berdiri sekitar abad ke-14. Material masjid dari bambu dan kayu suren serta tanpa paku. Lantainya dari tanah yang dipadatkan dan penerangannya masih menggunakan obor.

Masyarakat adat Bayan juga punya tradisi menjaga kelestarian alam. Enam hutan adat yang tersebar di tiga wilayah masing-masing dijaga oleh seorang pemangku hutan adat. Hutan itu juga dilindungi oleh aturan adat atau awiq-awiq. Bagi yang merusak hutan adat, misalnya menebang satu pohon, akan dikenakan sanksi berupa denda satu ekor kerbau, satu kuintal beras, dan 244 keping uang bolong.

Kampung Adat Bena, Nusa Tenggara Timur

Rumah-rumah batu beratap ilalang berusia lebih dari 1.200 tahun tetap bertahan hingga sekarang. Berbagai ornamen kampung tetap bertahan dari bebatuan, seperti fondasi rumah, makam leluhur, tempat upacara adat, dan panggung pertemuan adat.

Batu besar menjulang menyerupai payung di tengah kampung, disebut ngadhu, berfungsi sebagai tempat ibadah dan dipercaya sebagai media penghubung warga Bena dengan leluhur mereka di puncak Gunung Inerie. Sedangkan bhaga, rumah panggung beratap ilalang, berfungsi sebagai tempat upacara adat.

Warga Kampung Bena menganut sistem matriarki. Setelah menikah, laki-laki akan mengikuti keluarga perempuan pergi ke luar kampung. Festival Bena, yang diadakan setiap Natal, akan kembali menyatukan ikatan kekerabatan mereka. Bena terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Tempat ini bisa ditempuh sekitar 30 menit dengan mobil dari Kota Bajawa, ibu kota Ngada.

Kampung adat Bena, Flores. Tempo/Francisca Christy Rosana

Suku Korowai, Papua

Suku Korowai baru ditemukan 30 tahun silam. Selama berabad-abad, keberadaan mereka tersembunyi di belantara Distrik Kaibar, Kabupaten Mappi, Papua. Tepatnya di selatan kaki Pegunungan Jayawijaya. Sebelumnya, mereka bahkan tak tahu ada manusia selain suku mereka sendiri.

Itu sebabnya kebudayaan mereka berbeda dengan suku Papua lainnya. Salah satunya, tak menggunakan koteka. Kaum pria menggunakan akar pohon untuk menutup alat kelaminnya. Sekitar 3.000 orang suku Korowai hingga sekarang masih hidup dengan tradisinya. Tiap keluarga membangun rumah di atas pohon liar setinggi 15-50 meter untuk menghindari roh jahat dan binatang buas. Dari ketinggian rumah mereka, terhampar permadani hijau pepohonan Papua yang menakjubkan.

Dulu kabar tentang kanibalisme suku Korowai sempat beredar. Saat ini hal itu tak ada lagi. Kanibalisme saat itu hanya dilakukan sebagai hukuman. Sekarang mereka akan senang hati menerima tamu menginap di rumah dan hidup seperti mereka. Menikmati kesunyian. Di sana, waktu terasa berhenti.

Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur

Hanya ada satu akses menunju Wae Rebo, kampung yang masih memelihara rumah adat berbentuk kerucut: berjalan kaki membelah kawasan hutan lindung Gunung Todo Repok seluas 10.500 hektare.

Jalan setapak yang lebarnya hanya 30 sentimeter ini dapat ditempuh hanya 1,5-2 jam oleh penduduk setempat. Jangan kaget kalau melihat mereka mampu berjalan telanjang kaki dan minus ngos-ngosan.

Semua rasa lelah akan hilang begitu melihat tujuh rumah adat berbentuk tumpeng warna hitam yang disebut mbaru niang. Wisatawan dipersilakan tinggal di mbaru niang, makan hidangan lokal, hingga bersih-bersih di sungai. Fasilitasnya memang tak seperti hotel. Tapi kehangatan dan kesederhanaan masyarakat di sana cukup membuat kerasan.

Wisatawan juga bisa mempelajari kebudayaan setempat dan arsitektur mbaru niang yang tanpa paku dan atap. Harga semua fasilitas tersebut hanya Rp 150 ribu per malam.

Kalau datang dari luar Flores, turis biasanya tiba melalui Labuan Bajo, lanjut melalui darat selama lima jam ke Denge, Kecamatan Satarmese, Manggarai. Setelah menginap semalam di rumah penduduk, perjalanan berlanjut ke Kampung Kombo. Barulah nanti menemukan jalan setapak menuju Wae Rebo.

Tujuh rumah adat berbentuk tumpeng warna hitam yang disebut mbaru niang. TEMPO

Long Berini, Kalimantan Utara

Di Long Berini, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, seni-budaya Dayak masih dijaga. Meski busana masyarakat di sana sudah seperti orang kebanyakan, namun mereka masih tinggal di rumah panggung dan apa yang mereka makan, sedikit-banyak, bergantung pada keramahan alam.

Adalah Dan Udau, tetua kampung itu, yang berjasa menjaga adat di kampung tepi Sungai Hulu Bahau ini. Dia mahir memainkan sampe'—gitar berdawai tiga khas Dayak. Setiap hari, rumah Dan Udau penuh dengan anak muda yang ingin berlatih menari dan menyanyikan lagu-lagu warisan orang tua mereka. Di Long Berini, seni dan budaya Dayak mengalir bersama di urat nadi.

Lembah Bada, Sulawesi Tengah

Di dunia ini, hanya dua daerah yang memiliki patung megalitikum. Pertama di Marquise Island, Amerika Latin, dan yang kedua di Lembah Bada, Poso, Sulawesi Tengah. Berbeda dengan Marquise, patung-patung di lembah itu berbentuk mirip manusia, lengkap dengan bagian tubuh. Ada juga patung berbentuk gentong. Usianya diperkirakan 1.500-3.000 tahun.

Lembah Bada berada di Taman Nasional Lore Lindu. Ada dua rute menuju ke sana. Pertama menggunakan pesawat kecil dari Palu dan mendarat di Bandara Tentena, Poso. Dari situ, perjalanan dilanjutkan dengan mobil atau sepeda motor selama empat jam. Bisa juga dengan mengendarai angkutan umum selama tiga jam dari Terminal Mosamba, Palu, ke arah Gimpu. Dari situ, perjalanan dilanjutkan dengan mobil atau sepeda motor selama empat jam. Turis bisa menginap di rumah penduduk dan guest house.

Sebuah arca megalitik yang menyerupai sosok perempuan yang ditemukan di Desa Onondowa, Kecamatan Rampi, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Diperkirakan arca ini berusia sekitar 2.000 tahun, karena memiliki kemiripan dengan arca megalitik di Lembah Besoa, Kecamatan Loreh Tengah dan Bada, kecamatan Tentena di Sulawesi Tengah. Tempo/IRMAWATI

Putussibau, Kalimantan Barat

Kejeniusan nenek moyang suku Dayak tecermin dari arsitektur rumah panjang mereka. Puluhan tiang kayu berdiamater setengah meter menopang rumah panjang—masyarakat setempat menyebutnya rumah betang—dengan kokoh selama puluhan tahun. Semua tiang dan lantai dibangun dari kayu ulin yang diambil dari belantara hutan Kalimantan. Hanya pasak dan rotan yang menyatukan kayu-kayu itu. 

Rumah ini panjangnya bukan main, paling pendek 100 meter dan terpanjang 286 meter. Lebarnya 5-8 meter. Rumah betang memiliki kamar (ruai) minimal 50 petak, dan sepetak ruangan besar untuk upacara adat. Di rumah betang semua aktivitas puluhan keluarga berlangsung. 

Rumah ini berjejer di sepanjang bibir Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia. Umumnya berada di dekat Putussibau, ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Sebenarnya ada jadwal reguler penerbangan pesawat dari Pontianak ke Putussibau. Namun terkadang dibatalkan. Maka disarankan menggunakan mobil. Selama 13 jam perjalanan, Anda akan disuguhi pemandangan lebatnya hutan Kalimantan. 

Sebelum menikmati rumah betang, ada Taman Nasional Betung Kerihun. Perjalanan menyusuri Sungai Kapuas bisa berhari-hari dengan perahu. Di perjalanan, para pemilik rumah betang dengan senang hati menyiapkan penginapan dan makanan. Mengajak para tamu untuk hidup seperti mereka. Satu tip penting selama di sana: jangan malu menawar harga.

Desa Jangga, Sumatera Utara

Kehidupan suku Batak tradisional masih berlangsung di Desa Jangga, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Para penduduk desa hidup dengan menjunjung tinggi budaya dan hukum adat di tengah alam yang masih asri. Keharuman nama desa ini bahkan tercium hingga Belanda dan Jerman.

Desa ini berada di lereng Gunung Simanuk-manuk, atau sekitar 24 kilometer dari Parapat, Danau Toba. Biasanya turis singgah ke Desa Jangga setelah menikmati keindahan Danau Toba. Udara desa masih sejuk dan segar. Menuju ke sana cukup menggunakan angkutan umum selama 4-6 jam dengan bonus keindahan alam tanah Batak di sepanjang jalan. Sudah tersedia banyak homestay di sekitar desa.

Rumah adat Batak masih mendominasi desa ini. Usianya ratusan tahun dan masih terawat baik. Di dinding-dinding rumah masih terlihat ukiran khas Batak—disebut gorga. Wisata sejarah juga bisa dinikmati di desa ini. Di ujung desa terdapat dua makam Raja Batak, yakni Raja Tambun dan Raja Ma.

Sambil berjalan-jalan, pelancong akan disuguhi pemandangan para perempuan yang membuat ulos di pekarangan rumah. Ulos buatan Desa Jangga sudah termasyhur hingga mancanegara. Ulos produksi mereka dikenal kuat, memiliki motif yang lebih rumit, dan lebih cantik. Mereka juga dengan senang hati akan mengajari Anda cara membuatnya. Bila Anda tertarik, ulos itu bisa dibeli sebagai buah tangan.

Link Back URL Partner Kampung Adat yang Ramah Wisatawan

Iklan


Berita Menarik Lainnya